Rabu, 19 Oktober 2011

Artikel

  PENGARUH KESIAPAN MENTAL ANAK MASUK SEKOLAH TERHADAP PRESTASI BELAJARNYA
Dina Renita
SMP Negeri 4 Pemulutan
Kabupaten ogan ilir


A. Pendahuluan
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia no 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 6 disebutkan bahwa setiap warga negara yang berusia 7 – 15 tahun wajib mengikuti pendidikan dasar. Selain itu dalam Peraturan Pemerintah no 17 tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan pasal 69 ayat 4, juga disebutkan bahwa SD/MI atau bentuk lain yang sederajat wajib menerima warga negara berusia 7 tahun sampai dengan 12 tahun sebagai peserta didik sampai dengan batas daya tampungnya.
Ketika otonomi daerah mulai diberlakukan sejak 2001 lalu, urusan pendidikan dasar menjadi urusan di bawah dinas pendidikan masing-masing daerah. Aturannya tetap sama, usia masuk SD diutamakan 7 tahun, bila kapasitasnya masih mencukupi bisa menerima murid yang berusia 6 tahun dengan prioritas usia mendekati 7 tahun. Tentunya, angka 7 itu sudah melalui penelitian panjang sebelumnya.

Dari penjelasan di atas bisa kita ambil kesimpulan bahwa pemerintah sudah mengisyaratkan bahwa anak usia 7 tahun dan 6 tahun dengan prioritas mendekati 7 tahun yang seharusnya masuk Sekolah Dasar, walaupun ada pengecualian untuk anak-anak yang memang sudah siap dan tingkat intelektualitasnya jauh melampuai anak-anak lain seusianya.
Permasalahan yang banyak ditemui adalah banyak orang tua bersikeras memasukkan anaknya ke SD sebelum cukup usia, padahal belum tentu anaknya siap secara mental maupun intelektualnya. Hal ini tentunya akan berakibat kurang maksimalnya prestasi anak tersebut di SD dan bahkan akan berlanjut pada tingkat selanjutnya.

B. Permasalahan
Dari uraian di atas, timbul permasalahan:
1. Berapa usia ideal anak masuk Sekolah Dasar?
2. Apakah yang terjadi bila anak masuk Sekolah Dasar belum cukup usia?

C. Pembahasan
Tidak semua anak punya perkembangan intelektual yang ‘normal’ atau rata-rata. Ada anak ‘gifted’ atau ‘talented’ yaitu dikaruniai kecerdasan atau bakat luar biasa yang tingkat intelektualitasnya jauh melampuai anak-anak lain seusianya. Sayangnya, kadang anak gifted ini baru diketahui setelah ia masuk SD. Seandainya bisa diketahui saat ia masih di preschool, tentunya bisa masuk SD lebih cepat.
Tapi, bagaimana peluang anak berbakat ini? bagaimana orangtua mengetahui kalau anaknya berbakat? Sebenarnya bisa saja anak yang belum berusia 6 tahun bersekolah di sekolah dasar. Sebab yang lebih penting sebenarnya kesiapan umur mental si anak, yakni kemampuan mental dan intelektual, bukan umur kalendernya, sebagai contoh, anak umur 4 tahun tapi umur mentalnya 6 tahun, berarti mereka sudah siap masuk SD, papar  Munandar, guru besar psikologi anak Universitas Indonesia.
Untuk mengetahui apakah umur mental anak siap, orangtua mesti mengeceknya dengan melakukan tes umur mental ke psikolog. Dari sini, nanti bisa diketahui IQ anak, dengan rumus: (umur mental/umur kalender) x 100 = IQ. Bila skor IQ anak di atas 130, jauh di atas anak normal (skor IQ 85-115), bisa saja ia dipandang gifted dan dipertimbangkan masuk SD lebih awal, setelah mempertimbangkan aspek-aspek lainnya(andy.web.id/).
Menurut Munandar, guru besar psikologi anak Universitas Indonesia, jumlah anak berbakat di Indonesia sekitar 2-5% dari keseluruhan anak. Namun sejauh ini belum semuanya mendapat pendidikan khusus. Tak semua sekolah mempunyai fasilitas, sarana, dan prasarana yang bermutu, ataupun kelas unggulan yang bisa mengembangkan dan melihat anak-anak yang berbakat.
Padahal sebenarnya dengan bakat di bidang intelektual, tak menutup kemungkinan balita bisa masuk SD. Akibatnya banyak anak yang umur mentalnya sudah tinggi namun tidak terstimulasi dengan baik, sehingga mereka bosan di kelas karena merasa materi yang diajarkan guru terlalu mudah (episentrum.com/artikel-psikologi/sedulur)
Kemungkinan anak yang masih usia TK bisa masuk SD juga dibenarkan Dra. Shinto B. Adelaar, M.Sc., psikolog perkembangan anak. Namun menurutnya bukan semata-mata karena IQ saja yang kelewat tinggi dibanding anak-anak lain. Si anak juga mesti punya tingkat kematangan yang mampu menghadapi stres dan situasi sekolah. “Sebab situasi dan cara belajar di SD berbeda dengan di TK. Di SD, anak lebih banyak duduk diam di tempat daripada bergerak atau jalan-jalan. Ia juga harus tekun mengerjakan tugas dalam waktu yang lebih panjang serta mau mematuhi instruksi guru. Berarti, dari segi pemikiran, si anak harus lebih matang,” Shinto menjelaskan.
Secara emosi, anak juga harus lebih matang, agar mampu mengontrol diri dan tidak lagi bertingkah laku berdasarkan keinginannya sendiri. Jadi, meski anak IQ-nya tinggi, belum tentu EQ-nya tinggi. Kalau anak itu masih dependent (bergantung pada orangtua), sikap bekerjanya belum terbentuk, masih banyak sikap bermainnya, kemungkinan besar bila anak dimasukkan ke SD ia bisa mengalami tekanan dan stres, sehingga menimbulkan reaksi malas belajar atau tidak mau sekolah.
Selain berefek malas, anak yang terlalu dipaksakan lompat jenjang pendidikan bisa menimbulkan masalah psikologis. Kasihannya, pada anak balita itu. Di usia itu mereka masih ingin main, sementara anak lainnya sudah tidak ingin main lagi. Di jenjang pendidikan berikutnya, misalnya saat di perguruan tinggi dan si anak baru berusia 15 tahun, secara emosional dan sosial ia belum sematang teman lainnya. Tak jarang temannya akan mengangap dia sebagai anak kecil, karena mungkin dari segi fisik belum berkembang sepenuhnya. Jadi dari segi sosial ada hambatan. Atau karena susah bergaul karena komunikasinya sering tidak nyambung, anak lebih senang membenamkan diri pada buku.
Memperdalam, bukan Mempercepat
Kadang orangtua yang punya anak berbakat yang mulai bosan di playgroup atau TK, jadi geregetan dan ingin menaikkan anak ke SD. Namun menurut Shinto, ini bukan solusi yang baik, apalagi jika hanya karena orangtua melihat anak itu lebih cerdas dibanding anak lainnya.
“Jika ingin memasukkan anak ke SD di usianya yang belum cukup, sepatutnya melihat dulu kondisi anak, karena apapun yang dipaksakan sebelum waktunya akan mengundang risiko. Kalau anak itu enjoy, bisa bergaul dengan lingkungan sosialnya dan senang belajar, tak masalah. Silakan saja melompatkan anak ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Tapi jika tidak, jangan dipaksakan, karena orangtua hanya akan merampas waktu bermain anak.”
Lebih baik menurutnya, perkaya pengetahuan dan kematangan anak. Orangtua tidak perlu ‘mempercepat’ tapi lebih ‘memperdalam’ pengetahuan anak. Misalnya anak TK A, pengetahuannya baru sampai C, kita asah pengetahuan anak hingga sampai F. Tapi levelnya tetap TK A. Tujuannya, supaya nanti si anak tumbuh menjadi anak yang pintar dan kreatif dan punya kepribadian yang matang. “Saya percaya kematangan kepribadian itu lebih banyak menunjang keberhasilan anak, daripada
semata-mata kecerdasaan intelektual saja.”
Menaikkan anak ke kelas yang lebih tinggi, misalnya tidak masuk kelas 1 tapi langsung kelas 2, juga bukan solusi yang baik. Sebab dengan menaikkan kelas anak, berarti ada materi tertentu yang tertinggal. Sebaiknya, untuk anak berbakat ini dimasukkan ke kelas akselerasi. Disana mereka akan memperoleh kurikulum lebih singkat dan padat tanpa harus kehilangan satu materi pun. Toh sekarang banyak sekolah unggulan yang menyenggarakan kelas akselerasi.
Dengan masuk kelas akselerasi dan bergabung dengan anak lain yang punya kemampuan yang sama, anak lebih terstimulasi. Sebab anak yang sangat cerdas jalan pikirannya tidak sesuai dengan anak seusianya. Bila ngobrol ia tidak ‘nyambung’. Bagi anak yang kecerdasaannya rata-rata, anak yang terlalu cerdas ini jadi membosankan, menganggap si anak terlalu serius karena omongannya jauh ke depan dari anak yang lain.
Amati Tanda-tanda Awal
Agar orangtua tak terlalu lama mengetahui kalau si kecil berbakat, sebaiknya orangtua melihat dan memperhatikan kemampuan anak sejak dini. Tanda-tanda anak berbakat dapat dilihat dari pertanyaan yang ia ajukan. Pertanyaan si anak biasanya mendalam, kritis, dan tidak cepat puas dengan jawaban yang sekedarnya. Anak memberikan reaksi yang lebih matang dari usia sebayanya, cepat bisa membaca sendiri tanpa diajarkan.
Caranya, dengan memberi rangsangan dan sarana yang bisa merangsang bakat anak, misalnya menyediakan aneka permainan. Dengan begitu, selain anak akan terpacu intelektualitas dan kreativitasnya. Supaya tidak salah langkah, orangtua perlu memeriksakan anak ke psikolog untuk mengetahui apakah anak itu berbakat, sebelum memasukkan anak ke SD pada usia dini.
Shinto menyarankan, orangtua yang punya anak berbakat dengan IQ tinggi, tapi emosinya belum berkembang, sebaiknya tidak meloncatkan anaknya ke kelas atau jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Sebab belajar di SD itu lebih susah, apalagi SD di Jakarta. Anak terlalu banyak di-drill sehingga banyak mengurangi minat anak untuk belajar. Lebih baik anak tetap di TK tapi ia diberi tambahan pengetahuan yang banyak.”
Kalimat yang menarik  di atas adalah; “jumlah anak berbakat di Indonesia sekitar 2-5% dari keseluruhan anak”. Terlepas dari validitas angka prosentase tersebut, kami yakin bahwa jumlah anak berbakat memang sedikit. Jauh lebih banyak yang normal-normal saja.
Pemerintah mensyaratkan usia masuk sekolah dasar 7 tahun, karena secara mental emosional anak seusia itu sudah cukup matang untuk menerima pelajaran SD, rentang konsentrasinya sudah cukup panjang, kemampuan menangkap perintah sudah cukup bagus, dan kemampuan-kemampuan lainnya yang dibutuhkan untuk bisa belajar optimal di SD (bunda3f.blogspot.com/2009/02/).
 Secara psikologis, anak 7 tahun memang lebih siap, apalagi untuk anak laki-laki. Seorang psikolog Australia bernama  Biddulph dalam bukunya yang berjudul Raising Boys mengungkapkan kalau menurut hasil penelitian anak laki-laki usia 6-7 tahun masih ingin menggerakan motorik kasarnya saja, sedangkan motorik halusnya ketinggalan jauh dari anak wanita(bundaindah.blogspot.com/2009/08/).
Apa yang akan terjadi bila anak dipaksakan masuk SD sebelum cukup usia? Tidak akan terjadi apa-apa kecuali semakin lama anak akan semakin terbebani dengan kewajiban-kewajiban bersekolah yang pada akhirnya bukannya menumbuhkan prestasi malahan menjadikan anak ketinggalan. Perilaku orang tua yang terlalu percaya diri akan keistimewaan anaknya akan menciptakan anak-anak lelah yang kehilangan kegembiraan sebagai anak-anak. Mereka tidak lagi bebas bermain dan bersosialisasi dengan teman dan lingkungan melainkan harus belajar dan belajar sepanjang waktu. Seusai sekolah mereka akan mengikuti les-les dan bimbel-bimbel juga menghadapi setumpukan PR yang melelahkan.
Hal ini dapat ditinjau dari psikologi perkembangan dan kesiapan belajar seorang anak. Menurut Crijns (Pidarta, 2007:196), tahap perkembangan manusia secara umum sebagai berikut:

  1. ·         Umur 0 – 2 tahun disebut masa bayi. Sebagian besar memanfaatkan hidupnya  untuk tidur, memandang, mendengarkan, kemudian belajar merangkak dan berbicara.
    ·         Umur 2 – 4 tahun disebut masa kanak-kanak. Anak mulai bisa melihat struktur, permainan-permainan bersifat fantasi, dan suka mengkhayal.
    ·         Umur 5 – 8 tahun disebut masa dongeng. Kesadaran akan lingkungan sesungguhnya mulai muncul namun masih dipengaruhi subjektivitas sendiri sehingga mereka suka pada dongeng-dongeng.
    ·         Umur 9 – 13 tahun disebut masa Robinson Crusoe (nama seorang petualang). Mulai berkembang pemikiran kritis, nafsu persaingan, minat-minat, dan bakat. Suka bertanya dan menyelidiki, suka menggoda, mengejek, dan sebagainya.
    ·         Umur 13 tahun disebut masa pubertas pendahuluan. Mereka mulai belajar bersolek, suka menyendiri, melamun, dan  segan olahraga. Mereka gelisah, cepat tersinggung, suka marah-marah, keras kepala, acuh tak acuh, dan senang bermusuhan.
    ·         Umur 14 – 18 tahun disebut masa puber. Mereka mulai sadar akan pribadinya sebagai seorang yang bertanggung jawab dan takut dicampuri oleh orang dewasa, ia hanya berhubungan dengan teman-teman seperasaan. Ini merupakan periode pembentukan cita.
    ·         Umur 19 – 21 tahun disebut masa adolesen. Mereka mulai menemui keseimbangan, sudah mempunyai rencana hidup tertentu dengan nilai-nilai yang sudah dipastikannya. Namun, kadang-kadang timbul sikap radikal, ingin menolak, mencela, merombak hal-hal yang tidak disetujuinya dalam politik, agama, sosial, kesenian, dan sebagainya.
    ·         Umur 21 tahun ke atas disebut masa dewasa. Remaja mulai insaf bahwa pekerjaan manusia tidak mudah dan selalu ada cacatnya. Mereka mulai berhati-hati.

Periode perkembangan di atas merupakan periode secara umum artinya ada saja anak atau remaja yang menyimpang dari perkembangan umum itu.
Havinghurst menyusun fase-fase perkembangan sebagai berikut:
 (Mulyani, dikutip Pidarta, 2007:199),
·    Tugas perkembangan masa kanak-kanak:
Belajar berkata, makan makanan padat, berjalan, mengendalikan gerakan badan, mempelajari peran jenis kelaminnya sendiri, stabilitas fisiologi, membentuk konsep sederhana tentang sosial dan fisik, belajar menghubungkan diri secara emosional dengan orang-orang lain, serta belajar membedakan yang benar dengan yang salah.
·         Tugas perkembangan masa anak:
Belajar keterampilan fisik untuk keperluan bermain, membentuk sikap diri sendiri, belajar bergaul secara rukun, mempelajari peran jenis kelamin sendiri, belajar keterampilan membaca, menulis, dan berhitung, mengembangkan konsep-konsep yang dibutuhkan dalam kehidupan, membentuk kata hati, moral, dan nilai, membuat kebebasan diri, dan mengembangkan sikap terhadap kelompok serta lembaga-lembaga sosial.
·         Tugas perkembangan masa remaja:
Membuat hubungan-hubungan baru yang lebih matang dengan teman sebaya dan kedua jenis kelamin, memperoleh peran sosial yang cocok dengan jenis kelaminnya, menggunakan badan secara efektif, mendapatkan kebebasan diri dan ketergantungan pada orang lain, memilih dan menyiapkan jabatan, mendapatkan kebebasan ekonomi, mengadakan persiapan perkawinan dan kehidupan berkeluarga, mengembangkan keterampilan dan konsep-konsep yang diperlukan sebagai warga negara yang baik, mengembangkan perilaku bertanggung jawab, dan memperoleh seperangkat nilai serta etika sebagai pedoman berperilaku.
·         Tugas perkembangan masa dewasa awal:
Memilih pasangan hidup, belajar hidup rukun  bersuami istri, memulai kehidupan punya anak, belajar membimbing dan merawat anak, mengendalikan rumah tangga, melaksanakan suatu jabatan atau pekerjaan, belajar bertanggung jawab sebagai warga negara, dan berupaya mendapatkan kelompok sosial yang tepat serta menarik.
·         Tugas perkembangan masa setengah baya:
Bertanggung jawab sosial dan menjadi warga negara yang baik, membangun dan mempertahankan standar ekonomi, membina anak remaja agar menjadi orang dewasa dan bertanggung jawab serta bahagia, mengisi waktu senggang dengan kegiatan-kegiatan tertentu, membina hubungan suami istri sebagai pribadi, menerima serta menyesuaikan diri dengan perubahan fisik diri sendiri, dan menyesuaikan diri dengan pertambahan umur.
·         Tugas perkembangan orang tua:
Menyesuaikan diri dengan semakin menurunnya kekuatan fisik dan kesehatan, menyesuaikan diri terhadap menurunnya pendapatan atau karena pensiun, menyesuaikan diri sebagai duda atau janda, menjalin hubungan dengan klub lanjut usia, memenuhi kewajiban sosial sebagai warga negara yang baik, dan membangun kehidupan fisik yang memuaskan.
Tugas-tugas perkembangan di atas disiapkan untuk pendidikan seumur hidup. Hal ini dapat dilihat adanya perkembangan untuk masa setengah baya atau orang dewasa dan untuk masa tua
   Sedangkan Piaget ,  membagi empat tingkat perkembangan khusus yaitu kognisi (Wahyudin, 2008:18) sebagai berikut:
·         Periode sensorimotor pada umur 0 – 2 tahun. Kemampuan anak terbatas pada gerak-gerak refleks. Reaksi intelektual hampir seluruhnya karena rangsangan langsung dari alat-alat indra.
·         Periode praoperasional pada umur 2 – 7 tahun. Perkembangan bahasa anak ini  sangat pesat. Analisis rasional belum berjalan.
·         Periode operasi konkret pada umur 7 – 11 tahun. Mereka sudah bisa berpikir logis, sistematis, dan memecahkan masalah yang bersifat konkret. Mereka sudah bisa mengerjakan penambahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian.
·         Periode operasi formal pada umur 11 – 15 tahun. Mereka sudah dapat berpikir logis terhadap masalah baik yang konkret maupun yang abstrak.
Teori perkembangan di atas bermanfaat bagi pendidikan dalam mengorganisasi materi pelajaran dan proses belajar terutama yang berkaitan dengan upaya mengembangkan kognisi anak-anak.
Dari uraian di atas, bisa kita lihat bahwa seseorang itu berkembang sesuai dengan tahapan-tahapannya, dan kemampuan-kemampuan yang dicapai pada tiap tahapanpun berbeda.
Selain itu, kesiapan belajar seorang anak juga perlu diperhatikan. Kesiapan belajar secara umum adalah kemampuan seseorang untuk mendapatkan keuntungan dari pengalaman yang ia temukan. Sedangkan kesiapan kognisi bertalian dengan pengetahuan, pikiran, dan kualitas berpikir seseorang dalam menghadapi situasi belajar yang baru. Kemampuan-kemampuan ini bergantung pada tingkat kematangan intelektual. Latar belakang pengalaman, dan cara-cara pengetahuan sebelumnya distruktur (Connell, 1974,  dikutip Pidarta, 2007:229).
Dari uraian di atas bisa diambil kesimpulan sebaiknya orang tua  tidak perlu terburu-buru memasukan anaknya ke SD, tunggu sampai kesiapan fisik dan mentalnya memadai. Kalau perlu banyak mencari informasi dari media atau psikolog mengenai kesiapan seorang anak.
Sebagai contoh kasus, yaitu “Saya mempunyai pengalaman empiris di keluarga dan handai taulan saya dimana yang masuk SD cukup umur, ketika menginjak usia SMP, SMA dan seterusnya akan lebih cakap dalam memecahkan persoalan-persoalan  matematis. Yang terburu-buru sekolah, semakin naik tingkat semakin melorot prestasinya. Anak  yang masuk SD pada saat cukup usia (tidak terburu-buru sekolah ) lebih enjoy belajar namun prestasinya tak kalah dengan yang lain.  Saudara  saya yang termasuk terburu-buru sekolah sehingga akhirnya menjadi sarjana pada usia  menjelang 21 tahun pun mengakui sendiri, dia merasa dalam banyak hal agak bebal dan perlu belajar ekstra keras bahkan kadang-kadang perlu mundur dulu sedikit agar bisa mengejar ketinggalannya. Dari pengalaman di atas,  saya tetap sepakat bahwa idealnya anak masuk SD ketika usianya 7 tahun”(andy.web.id/).
Fakta yang ditemukan oleh ahli-ahli neurologi yang menyatakan bahwa pada saat lahir otak bayi mengandung 100 sampai 200 milyar neuron atau sel syaraf yang siap melakukan sambungan antar sel.
Sekitar 50% kapasitas kecerdasan manusia telah terjadi ketika usia 4 tahun, 80% telah terjadi ketika berusia 8 tahun, dan mencapai titik kulminasi 100% ketika anak berusia 8 sampai 18 tahun (andy.web.id/).
Para ahli sepakat bahwa periode keemasan tersebut hanya berlangsung satu kali sepanjang rentang kehidupan manusia, masalahnya, seperti yang dikatakan oleh Suharyadi dari Universitas Indonesia bahwa otak belakanglah yang menentukan kecerdasan seseorang, terutama untuk anak usia 7 tahun ke bawah.
Untuk usia 7 tahun ke bawah, pembelajaran yang terbaik adalah yang mengedepankan kenyamanan fisik (r-system), emosi (limbic), dan kesempatan untuk berimajinasi (right brain), tanpa adanya kenyamanan untuk berimajinasi, maka otak akan memerintahkan tubuh bertindak atas dasar pencarian kenyamanan emosi, terjadilah yang disebut mogok, ngambek,  malas, membangkang, dan lain sebagainya(andy.web.id/).
Jika kita masukkan anak ke SD pada usia 6 tahun, maka ia masih berada pada tahap kritis keterampilan sosial, padahal ketika di SD , bersosialisasi di dalam kelas adalah perilaku yang tidak diijinkan.
Jika kita masukkan anak ke SD pada usia 5 tahun, maka selain masih tertatih-tatih dalam keterampilan sosial, ia baru saja melewati (atau malah masih berada pada) masa kritis dalam perkembangan motorik (kekuatan dan keterampilan fisik), padahal  ketika di SD , bergerak di dalam kelas adalah hal yang tabu kecuali diijinkan oleh gurunya, dan ketika di SD , menulis adalah sebuah keharusan sementara perkembangan anak masih belum matang (andy.web.id/).
Bagaimana jika kita masukkan anak ke SD pada usia 4 tahun?

D. Penutup
Dari pembahasan di atas, bisa kita ambil suatu pembelajaran yaitu apabila ingin memasukkan anak ke Sekolah Dasar sebelum cukup umurnya, pastikan bahwa dia benar-benar mampu baik secara intelektual maupun secara sosial. Anak kita adalah masa depan kita, dan anak-anaklah yang akan menjalani kehidupan mereka, bukan kita orang tua.
            Dalam proses pendidikan peserta didik atau warga belajar harus memegang peran utama. Sebab mereka adalah individu yang hidup dan mampu berkembang sendiri. Pendidikan harus memperlakukan dan melayani perkembangan mereka secara wajar. Ibarat proses mekarnya bunga, mereka tidak boleh dipaksa agar kelopak-kelopaknya segera mekar, melainkan harus menunggu dengan sabar sambil rajin memberi pupuk, menyirami, dan memindahkan dan atau menutupi dari sengatan sinar matahari yang terik. Biarkan mereka berkembang secara wajar, sesuai dengan kodratnya.
            Hal ini tidak lepas dari peran orang tua sebagai orang yang memberikan arah pendidikan anaknya selain dari guru sebagai pendidik di sekolah.

Sumber:

Pidarta, Made. 2007. Landasan Kependidikan: Stimulus Pendidikan Bercorak
Indonesia.       Jakarta: Rineka Cipta.

             2009, Usia Berapa Sebaiknya Anak Masuk SD?
diakses tanggal 2 Desember  2010).

            2009, Pikirkan Matang-matang usia anak ketika masuk PG/TK.

(http://andy.web.id/berapa-usia-ideal-masuk-sd.php   diakses tanggal 6 November
2010).

            2010, Beberapa Lingkungan Pembentuk Moral Anak.

Wahyudin, 2008. Pembelajaran dan Model-Model Pembelajaran. Jakarta: IPA Abong

Tidak ada komentar:

Posting Komentar